Musim ini terasa seperti perjalanan roller coaster bagi Cleveland Cavaliers. Setelah tampil luar biasa di awal kompetisi musim lalu, kini mereka justru tertahan di papan tengah klasemen Wilayah Timur. Situasi tersebut menciptakan kontras tajam yang sulit diabaikan. Tahun lalu, Cavaliers memulai kompetisi bak tim yang lapar kemenangan, agresif, solid secara taktik, dan tampil sebagai kekuatan menakutkan di NBA. Namun di 2025/2026, aura itu tampak meredup. Masalah terbesar mereka bukan kurangnya potensi, melainkan sulitnya menjaga ritme permainan dari laga ke laga. Bintang utama mereka, Donovan Mitchell, secara jujur mengungkap bahwa timnya belum tampil sesuai ekspektasi. Ia menilai Cavaliers saat ini bukanlah tim yang pantas masuk ke babak playoff jika menilik cara mereka bermain. Ini bukan sekadar kritik, melainkan refleksi langsung dari seorang pemimpin lapangan yang memahami denyut timnya sendiri. Mitchell menegaskan bahwa kemenangan di NBA modern tidak lagi dibangun oleh aksi heroik satu pemain, melainkan oleh kekuatan kolektif, chemistry, dan pemahaman antar lini.
Menang Besar, Tapi Belum Cukup Meyakinkan
Hari ini Cavaliers akhirnya memutus tren negatif setelah menelan tiga kekalahan beruntun. Tim asuhan Kenny Atkinson tampil dominan dan menghentikan New Orleans Pelicans dengan skor meyakinkan 141-118 di Rocket Arena, Cleveland. Secara angka, itu kemenangan telak. Secara mental, itu momentum yang sangat dibutuhkan. Tetapi di mata pengamat basket, Cavaliers masih menyisakan satu pertanyaan besar: apakah kemenangan ini awal kebangkitan yang stabil atau hanya jeda singkat dari inkonsistensi?
Rekor 17-14 (17 kemenangan, 14 kekalahan) menempatkan Cavaliers di posisi ketujuh Wilayah Timur. Mereka hanya terpaut satu kekalahan dari Orlando Magic, tetapi masih jauh dari tim-tim papan atas seperti Detroit Pistons (24-6) dan New York Knicks (20-9). Selisih ini menunjukkan bahwa Cavaliers belum menemukan formula permainan yang dapat membawa mereka kembali bersaing di level elite. Di NBA, jarak antar peringkat tidak selalu mencerminkan kualitas sesaat, melainkan ketahanan strategi dalam jangka panjang.
Kenny Atkinson, yang musim lalu dinobatkan sebagai Coach of the Year, masih mencoba meracik ulang pola permainan yang lebih dinamis, cepat, dan kolektif. Tetapi tantangan utamanya justru bukan strategi tertulis, melainkan strategi yang “hidup” — strategi yang dipercaya dan dijalankan pemain secara natural di lapangan. Inilah titik di mana pernyataan Donovan Mitchell menjadi penting. Ia mengakui bahwa timnya perlu bermain lebih sebagai unit, bukan hanya sebagai kumpulan individu berbakat.
Standar Tinggi yang Terlanjur Dipasang
Jika menengok ke belakang, tidak heran publik Cleveland menaruh ekspektasi besar. Cavaliers musim lalu memulai musim dengan 15 kemenangan beruntun. Mereka menutup musim reguler dengan rekor 64-18, menjadi tim terbaik Wilayah Timur setelah era dominasi LeBron James. Itu pencapaian monumental. Bahkan tiga pemain mereka — Donovan Mitchell, Garland, dan Mobley — masuk All-Star 2025. Evan Mobley juga meraih Defensive Player of the Year, sementara Atkinson menyabet Coach of the Year. Semua data itu membentuk standar tinggi yang seakan berkata: “Cleveland siap jadi penantang juara”.

Ironisnya, roster inti mereka tidak banyak berubah. Komposisi utama masih sama. Secara teori, chemistry seharusnya semakin matang. Namun realitanya, Cavaliers justru kesulitan mengulang stabilitas. Hal ini mengindikasikan bahwa chemistry bukan sekadar waktu kebersamaan, melainkan bagaimana peran, ego, dan sistem permainan diselaraskan. Tim yang sama bisa menghasilkan performa berbeda ketika “energi ruang ganti” berubah. Bukan karena ada konflik, tetapi karena ada hal yang belum klik.
Donovan Mitchell menyampaikan pernyataan yang menohok, namun penuh kesadaran: “Kami bukan tim playoff jika bermain seperti sekarang.” Ia menegaskan bahwa timnya harus menemukan kembali identitas mereka — apakah itu melalui kegembiraan bermain, kepercayaan antar pemain, penyesuaian taktik, atau kombinasi semuanya. NBA hari ini bukan hanya perang fisik, tetapi juga perang mental dan pola adaptasi.
Kolektivitas sebagai Jawaban
Basket modern semakin menuntut permainan kolektif. Tim-tim sukses di liga ini biasanya memiliki pola serangan yang fleksibel, rotasi bola cepat, spacing yang cerdas, dan pertahanan yang tidak bergantung pada satu anchor saja. Inilah yang dimaksud Mitchell ketika ia menyebut bahwa Cavaliers harus bermain sebagai unit. “Bukan hanya soal taktik, bisa jadi kegembiraan, bisa juga semangat — apapun itu, kami harus menemukannya,” ujar Donovan Mitchell. Kalimat ini mencerminkan bahwa solusi Cavaliers bukanlah satu hal tunggal, tetapi reconnection pada DNA tim.
Darius Garland dikenal sebagai playmaker dengan visi lapangan luas. Evan Mobley adalah pilar pertahanan dan rim protector yang cerdas. Donovan Mitchell adalah scorer eksplosif dengan insting clutch. Tetapi jika ketiganya bermain dengan beban yang berbeda-beda, maka kekuatan itu justru tidak menyatu, melainkan saling menunggu momen. Cavaliers harus kembali pada pola collective momentum seperti musim lalu: serangan yang mengalir, pertahanan yang membaca, dan ruang ganti yang bicara dengan bahasa yang sama.
Menemukan “Percikan” yang Hilang
Publik Cleveland tentu berharap timnya kembali ke papan atas. Tetapi perjalanan menuju sana tidak bisa dipaksakan oleh satu kemenangan besar. Kemenangan melawan Pelicans hari ini adalah sinyal baik, ibarat percikan listrik yang menyalakan kembali harapan. Tetapi percikan saja tidak cukup jika tidak disusul aliran energi yang stabil. Cavaliers masih harus melewati fase pencarian identitas, menyatukan chemistry, dan mengeksekusi permainan kolektif dengan konsisten.
Musim masih panjang, peluang kebangkitan masih terbuka, dan Cavaliers punya satu modal besar yang tidak dimiliki semua tim: kejujuran dari bintang utamanya untuk mengakui kekurangan, bukan menutupinya. Dan di NBA, langkah pertama untuk menang besar selalu dimulai dari mengakui bahwa ada hal yang harus diperbaiki.
Refrence : Mainbasket
